BAB 6
PERADABAN ISLAM PADA MASA KEJAYAAN
Nama Kelompok :
1. Diky
Anwar
2.
Abdul Mashuri
3. Dini
Lestari
4.
Siska Rosiatuniah
5. Tini
1. Mengembalikan
Kejayaan Umat Islam
Kejayaan
Islam dan umatnya adalah harapan yang harus ada dalam benak semua orang yang
benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala
dan hari kemudian. Karena di antara perkara yang bisa membatalkan keislaman
seseorang adalah merasa senang dengan kejatuhan dan kemunduran agama Islam dan
justru tidak mengharapkan kejayaan dan ketinggian Islam tersebut. Sebagaimana
termasuk konsekwensi keimanan seorang muslim adalah ikut merasakan apa yang
dirasakan oleh saudaranya sesama muslim, dengan turut merasa prihatin dan berduka
atas semua penderitaan yang mereka alami, kemudian berusaha membantu
meringankan beban mereka, minimal dengan berdo’a, serta berusaha mencari jalan
keluar terbaik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Dalam
berbagai hadits yang shahih telah dijelaskan bahwa akan senantiasa ada
sekelompok umat Islam yang berpegang teguh di atas kebenaran. Mereka
melaksanakan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan konskuen, memperjuangkan tegaknya
syariat Islam, dan meraih kemenangan atas musuh-musuh Islam, baik dari kalangan
kaum kafir maupun kaum munafik dan murtadin.
Kelompok Islam ini disebut ath-thaifah
al-manshurah atau kelompok yang mendapat kemenangan. Kelompok ini akan
senantiasa ada sampai saat bertiupnya angin lembut yang mewafatkan seluruh kaum
beriman menjelang hari kiamat kelak. Kelompok ini diawali dari Rasulullah saw
beserta segenap sahabat, berlanjut dengan generasi-generasi Islam selanjutnya,
sampai pada generasi Islam yang menyertai imam Mahdi dan Nabi Isa dalam
memerangi Dajjal dan memerintah dunia berdasar syariat Islam.
Hadits-hadits
tentang ath-thaifah al-manshurah
diriwayatkan banyak jalur dari sembilan belas sahabat. Menurut penelitian
sejumlah ulama hadits, hadits-hadits tentang ath-thaifah al-manshurah telah mencapai derajat mutawatir. Kelompok
umat Islam ini adalah kelompok elit umat Islam. Mereka adalah sekelompok kecil
kaum ‘fundamentalis Islam’, di tengah kelompok umat Islam yang telah mulai
lalai dari kewajiban berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka
adalah ‘muslim-muslim militan’ yang sangat dikhawatirkan oleh AS dan Barat akan
mengancam kepentingan mereka. Rasulullah saw menamakan kelompok ini sebagai ath-thaifah al-manshurah, kelompok
yang mendapatkan kemenangan. Penamaan ini merupakan sebuah janji kemenangan
bagi kelompok ini, baik dalam waktu yang cepat maupun lambat, baik kemenangan
materi maupun spiritual.
Di antara hadits-hadits tentang ath-thaifah al-manshurah tersebut adalah sebagai berikut:
“Akan
senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang meraih kemenangan (karena berada)
di atas kebenaran, orang-orang yang menelantarkan mereka tidak akan mampu
menimbulkan bahaya kepada mereka, sampai datangnya urusan Allah sementara
keadaan mereka tetap seperti itu .”
“Akan
senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas urusan Allah.
Mereka mengalahkan musuh-musuh mereka. Orang-orang yang memusuhi mereka tidak
akan mampu menimpakan bahaya kepada mereka sampai datangnya kiamat, sementara
keadaan mereka tetap konsisten seperti itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang-orang yang beriman
dalam kecintaan dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu badan,
jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh (anggota) tubuh
lainnya ikut merasakan (sakit tersebut) karena susah tidur dan demam“.
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
sempurna keimanan seseorang sampai dia menyukai (kebaikan) untuk saudaranya
(sesama muslim) sebagaimana dia menyukai (kebaikan tersebut) untuk dirinya
sendiri”.
Bukan
merupakan rahasia lagi, apa yang kita dengar dan saksikan pada jaman sekarang
ini, yaitu kondisi yang memprihatinkan dan penderitaan yang menimpa kaum
muslimin di berbagai penjuru dunia saat ini, berupa penindasan, penganiayaan,
penghinaan dan lain-lain. Semua ini seolah-olah mengesankan bahwa agama Islam
ini bukanlah agama yang tinggi dan mulia, dan tidak adanya pertolongan dari
Allah Ta’ala kepada kaum
muslimin, sehingga mereka tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menghadapi
musuh-musuh mereka.
Padahal
dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala
menegaskan bahwa ketinggian, kemuliaan dan kejayaan serta pertolongan dari-Nya
hanyalah peruntukkan-Nya bagi agama-Nya yang benar dan bagi orang-orang yang
berpegang teguh dengan agama ini.
2. Dalil-dalil yang Menunjukkan Kejayaan dan Ketinggian Umat Islam
Allah Ta’ala
berfirman,
{هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ}
“Dialah (Allah Ta’ala)
yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk
dimenangkan-Nya (agama itu) atas semua agama (lainnya), walupun orang-orang
musyrik tidak menyukainya“. (QS At Taubah:33, dan QS Ash Shaff:9).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala
berfirman,
{وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ}
“…Padahal kemuliaan itu
hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman,
tetapi orang-orang munafik itu tidak memahaminya” (QS Al Munaafiquun:8).
Juga dalam firman-Nya,
{وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}
“Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu (benar-benar) beriman” (QS
Ali ‘Imraan:139).
Dan dalam firman-Nya,
{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ}
“Dan Allah telah berjanji
kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka setelah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka senantiasa menyembah-Ku
(samata-mata) dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang
yang fasik” (QS An Nuur:55).
3. Syarat Terwujudnya Janji Allah tersebut
Akan
tetapi, kalau kita perhatikan dan renungkan dengan seksama ayat-ayat tersebut
di atas, kita dapati bahwa Allah Ta’ala
tidak hanya menyebutkan janji-Nya untuk memberikan kemuliaan, ketinggian dan
pertolongan-Nya bagi kaum muslimin, tetapi Allah Ta’ala juga mengisyaratkan adanya syarat yang harus dipenuhi
oleh kaum muslimin agar janji Allah Ta’ala
tersebut dapat terwujud. Syarat itu adalah berpegang teguh dengan
petunjuk dan agama Allah Ta’ala,
dengan kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman dan pengamalan
yang benar.
Dalam
ayat yang pertama Allah Ta’ala
menggandengkan “Azh Zhuhur”
(kemenangan/kejayaan) bagi agama ini dengan petunjuk dan agama yang benar yang di bawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini
berarti bahwa umat Islam tidak akan mendapatkan kemenangan dan kejayaan yang
Allah Ta’ala janjikan dalam ayat
tersebut, kecuali jika mereka berpegang teguh dengan petunjuk dan agama yang benar tersebut. Makna petunjuk dan agama yang benar adalah
ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam menafsirkan ayat di atas
berkata, “…Adapun agama Islam sendiri, maka sifat (yang Allah sebutkan dalam
ayat) ini (kemenangan dan ketinggian) akan terus ada padanya di setiap waktu,
karena tidak mungkin ada yang mampu mengalahkan dan melawannya, (kalau ada yang
berusaha untuk melawannya) maka Allah akan mengalahkannya dan menjadikan
ketinggian serta kemenangan untuk agama ini.
Sedangkan
orang-orang yang menisbatkan diri kepada agama ini (kaum muslimin), jika mereka
menegakkan agama ini, dan mengambil petunjuk serta bimbingan dari cahayanya
untuk kebaikan agama dan (urusan) dunia mereka, maka demikian pula tidak ada
seorangpun yang mampu melawan mereka, dan mereka pasti akan mengalahkan pemeluk
agama lainnya, (akan tetapi) jika mereka tidak memperdulilkan agama ini, dan
hanya mencukupkan diri dengan menisbatkan diri kepadanya (tanpa berusaha
memahami dan mengamalkannya dengan benar), maka yang demikian tidak bermanfaat
bagi mereka (untuk menguatkan kedudukan mereka), (bahkan) ketidakperdulian
mereka terhadap agama ini merupakan sebab (utama) kekalahan dan kerendahan
mereka di hadapan musuh-musuh mereka, kenyataan ini diketahui oleh orang yang
mencermati keadaan manusia dan mengamati kondisi kaum muslimin di awal
(kedatangan Islam) sampai di akhirnya”.
Demikian
pula dalam ayat yang kedua Allah Ta’ala
menggandengkan “Al ‘Izzah”
(kemuliaan) dengan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
keimanan yang benar. Sebagaimana dalam ayat yang ketiga Allah I menggandengkan “Al ‘Uluw” (ketinggian) juga dengan
keimanan yang kuat dan benar.
Kemudian, lebih jelas dalam ayat yang keempat Allah menyebutkan
bahwa janji kekuasaan di muka bumi, keteguhan agama dan keamanan hanya Allah
peruntukkan bagi orang-orang yang beriman (dengan benar) dan mengerjakan amal
shaleh, yang mana landasan utama iman yang benar dan amal shaleh yang terbesar
adalah mentauhidkan (mengesakan) Allah dalam beribadah dan menjauhi perbuatan
syirik, sehingga Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang terwujud pada
mereka janji Allah tersebut:
“…Mereka senantiasa menyembah-Ku (samata-mata) dan tidak
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun”.
Imam Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat di atas, beliau berkata,
“Ini adalah janji dari Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa Dia akan menjadikan umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam penguasa
di muka bumi, yaitu pemimpin umat manusia, yang dengan mereka akan baik
(keadaan) seluruh negeri dan semua manusia akan tunduk. Dan Dia akan
menggantikan rasa takut mereka kepada manusia menjadi rasa aman, bahkan
(merekalah yang menjadi) penegak hukum bagi manusia. Allah Ta’ala telah mewujudkan janji-Nya ini
dan hanya milik-Nyalah segala puji dan karunia, karena sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
Allah telah menundukkan untuk beliau negeri Mekkah, Khaibar, Bahrain, dan
seluruh daratan Arab, serta semua wilayah Yaman…(Kemudian) para sahabat radhiyallahu ‘anhum karena mereka
setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah orang-orang yang paling kuat dalam melaksanakn perintah
Allah dan paling taat kepada-Nya, maka (besarnya) pertolongan (yang Allah
berikan kepada) mereka sesuai dengan (besarnya ketaatan) mereka. Mereka
menegakkan kalimat (agama) Allah di belahan bumi bagian timur maupun barat,
maka Allah benar-benar meneguhkan mereka (dengan pertolongan besar), sehingga
mereka berhasil menguasai seluruh umat manusia dan berbagai negeri. Dan tatkala
umat Islam sepeninggal mereka kurang dalam melaksanakan perintah Allah, maka
kejayaan merekapun berkurang sesuai dengan (kurangnya ketaatan) mereka”.
Kesimpulannya,
janji yang Allah Ta’ala
sampaikan dalam Al Qur’an untuk memberikan kejayaan, kemulian dan
pertolongannya bagi kaum muslimun adalah janji yang benar dan tidak akan
dilanggar, dengan catatan jika syarat yang Allah Ta’ala tentukan dipenuhi oleh kaum muslimin. Karena Allah Ta’ala mensifati diri-Nya dalam Al
Qur’an dengan firman-nya,
{وَعْدَ اللَّهِ لا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“(Sebagai)
janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Ruum:6).
Juga dengan firman-Nya,
{وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثاً}
“Dan siapakah yang lebih
benar perkataan(nya) daripada Allah” (QS. An Nisaa':87).
4. Pelajaran Berharga Dari Sejarah Islam
Sejarah
Islam telah mencatat berbagai kemenangan gemilang yang dicapai oleh para
sahabat radhiyallahu ‘anhum
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika berperang menghadapi musuh-musuh mereka, karena
Rasulullah dan para sahabat radhiyallahu
‘anhum adalah orang-orang yang paling kuat dalam menegakkan agama Allah Ta’ala, sebagaimana keterangan Imam
Ibnu Katsir di atas. Pada diri merekalah terwujud dengan sesungguhnya makna
firman Allah Ta’ala,
{وَلَيَنصُرَنَّ الله مَن يَنصُرُهُ إِنَّ الله لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ}
“Seseungguhnya Allah
pasti akan menolong orang yang menolong-Nya, sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS Al Hajj:40).
Syaikh
Muhammad Al Amin Asy Syinqiiti berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa Dia bersumpah akan sungguh-sungguh menolong orang yang
menolong-Nya, dan sudah diketahui bahwa (makna) “menolong Allah” tidak lain
adalah dengan mengikuti syariat-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-Nya
dan menjauhi semua larangan-Nya…”.
Dan inilah sebab utama yang menjadikan gentar dan takutnya
musuh-musuh Islam menghadapi Rasulullah r dan para sahabatnya y, sebagaimana
yang Allah Ta’ala nyatakan
dalam firman-Nya,
{سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ}
“Akan Kami masukkan ke
dalam hati orang-orang kafir rasa takut/gentar (menghadapi orang-orang beriman),
disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak
menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan
itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim” (QS Ali
‘Imraan:151).
Imam
Ibnu Katsir berkata, “(Dalam ayat ini) Allah memberikan kabar gembira bagi
orang-orang yang beriman bahwa Dia akan memasukkan ke dalam hati orang-orang
kafir rasa takut/gentar dan rendah di hadapan orang-orang yang beriman,
disebabkan perbuatan kafir dan syirik mereka, ditambah dengan azab dan sikasaan
(pedih) yang Allah sediakan bagi mereka di akhirat (nanti)”.
Kemudian
Ibnu Katsir membawakan sebuah hadits shahih dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah memberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan-Nya kepada seorang
nabipun sebelumku: aku ditolong (oleh Allah dalam menghadapi musuh-musuhku)
dengan rasa gentar (yang Allah masukkan ke dalam hati mereka) sebelum
berhadapan denganku (sejauh jarak) sebulan perjalanan…”.
Sehubungan dengan pembahasan ini, ada dua peristiwa perang besar
yang terjadi di jaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang dapat kita petik hikmah dan pelajaran berharga
darinya, tentang bagaimana Allah Ta’ala
menguji kaum mu’minin dengan menangguhkan sementara pertolongan-Nya kepada
mereka disebabkan perbuatan maksiat sebagian dari mereka.
Yang pertama, perang Hunain yang terjadi pada tahun kedelapan
hijriyah. Ketika itu sebagian dari kaum mu’minin merasa bangga dengan jumlah
mereka yang banyak sehingga mereka lalai bahwa pertolongan itu semata-mata dari
Allah dan bukan hanya karena jumlah yang banyak. Allah Ta’ala mengisahkan peristiwa ini dalam firman-Nya,
{لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ، ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ}
“Sesungguhnya Allah telah
menolong kamu (wahai kaum mu’minin) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu merasa bangga dengan banyaknya jumlahmu,
maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi
yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan
bercerai-berai. Kemudian Allah memberi ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada
oang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada
melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan
demikian pembalasan kepada mereka” (QS At Taubah:25-26).
Yang
kedua, perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga hijriyah. Ketika itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada pasukan pemanah yang dipimpin oleh Abdullah
bin Jubair radhiyallahu ‘anhu,
untuk tidak meninggalkan tempat mereka apapun yang terjadi pada pasukan kaum
muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Janganlah kalian meninggalkan tempat kalian
meskipun kalian melihat kami telah mengalahkan musuh, atau meskipun kalian
melihat musuh telah mengalahkan kami maka janganlah kalian menolong kami”.
Dalam riwayat lain, “…meskipun kalian melihat kami disambar burung”. Kemudian
setelah mereka melihat pasukan musuh berlari mundur, sebagian dari pasukan
pemanah berlari meninggalkan tempat mereka menuju pasukan muslimin untuk
bersama mengumpulkan harta rampasan perang, padahal pemimpin mereka Abdullah
bin Jubair telah mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akibatnya pasukan musuh berbalik menyerang pasukan muslimin sehingga terbunuh
tujuh puluh orang dari pasukan muslimin, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
terluka wajahnya yang mulia pada perang tersebut. Meskipun kemudian Allah Ta’ala menurunkan pertolongan-Nya
kepada mereka sehingga pasukan musuh mundur.
Perhatikan
dan renungkanlah kedua peristiwa di atas, bagaimana Allah Ta’ala menunda turunnya
pertolongan-Nya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum hanya karena perbuatan maksiat sebagian dari
mereka, padahal mereka secara keseluruhan adalah orang-orang yang paling kuat
dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam
perang Hunain sebagian mereka merasa bangga dengan jumlah mereka yang banyak,
sehingga mereka lalai sesaat dari Allah Ta’ala,
yang akibatnya mereka mulanya dikalahkan pasukan musuh, meskipun kemudian Allah
Ta’ala menurunkan
pertolongan-Nya kepada mereka. Demikian pula dalam perang Uhud, sebab kekalahan
mereka di awalnya adalah karena sebagian mereka menyelisihi perintah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Maka kalau keadaan ini bisa menimpa para sahabat Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam yang
sangat kuat dalam berpegang teguh dengan agama Islam, disebabkan sekali
kesalahan sebagian mereka ketika lalai dari bersandar kepada Allah, yang ini
menyangkut masalah tauhid, dan ketika menyelisihi perintah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, maka
bagaimana lagi dengan orang-orang yang banyak melanggar syariat Allah Ta’ala, serta tidak memperhatikan
upaya pemurnian tauhid (mengesakan Allah Ta’ala
dalam beribadah) dan al ittiba’
(semata-mata mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Mungkinkah pertolongan dan
kemenangan akan Allah Ta’ala
berikan kepada mereka?
Sebagai tambahan penjelasan, marilah kita renungkan bersama kisah
berikut ini,
Imam ahmad dalam kitab “Az Zuhd” (hal. 142) dan Abu Nu’aim dalam
kitab “Hilyatul Auliya'” (1/216-217) meriwayatkan dengan sanad mereka berdua
dari Jubair bin Nufair beliau berkata, “Ketika (kaum muslimin) berhasil
menaklukkan (wilayah) Qibrus
(Cyprus, sebuah pulau di kawasan eropa saat ini) dan membuat lari bercerai
berai penduduknya, (waktu itu) semua pasukan muslimin menangis satu sama
lainnya. Aku melihat (sahabat yang mulia) Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu terduduk sendirian sambil menangis, maka aku
bertanya, “Wahai Abu Darda’, apa sebabnya kamu menangis di hari yang Allah
muliakan/menangkan agama Islam dan kaum muslimin?” Beliau berkata,
“Celaka kamu wahai Jubair, (lihatlah) alangkah hinanya manusia di hadapan Allah
jika mereka meninggalkan perintah-Nya, padahal penduduk negeri ini adalah orang-orang
yang perkasa, unggul dan memiliki kerajaan (besar), tetapi mereka meninggalkan
perintah Allah Ta’ala, maka
jadilah mereka seperti yang kamu saksikan (saat ini)”.
5. Upaya Untuk Mengembalikan Kejayaan Umat
Berdasarkan
keterangan di atas, maka upaya terbaik yang harus dilakukan oleh kaum muslimin
untuk mengatasi semua masalah yang mereka hadapi, serta mengembalikan kejayaan
dan kemuliaan mereka adalah berusaha mewujudkan syarat yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam ayat-ayat
tersebut di atas, yaitu dengan kembali mengoreksi pemahaman dan pengamalan kita
terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, utamanya pemahaman dan pengamalan terhadap dua
kalimat syahadat (Laa ilaaha illallah)
dan (Muhammadur Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) yang merupakan landasan agama Islam ini.
Sementara
itu, kita dapati sebagian kaum muslimin saat ini banyak yang melakukan
cara-cara dengan mengatasnamakan upaya mengembalikan kejayaan umat, ada yang
menempuh jalur politik, ada yang berupaya menggulingkan pemerintah yang
berkuasa, ada yang mengutamakan kemajuan teknologi, ada yang menitikberatkan
pada upaya menghimpun massa sebanyak-banyaknya, dan cara-cara lain yang tidak
bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal kalau kita amati dengan seksama peristiwa sejarah yang
kami nukilkan di atas, jelas sekali menunjukkan bahwa kemajuan teknologi,
kekuasaan besar dan jumlah pasukan yang besar sama sekali tidak bermanfaat tanpa adanya landasan iman
dan ketaatan yang kuat kepada Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Bukankah
negeri Qibrus yang ditaklukkan
oleh kaum muslimin adalah negeri yang unggul dalam teknologi dan persenjataan
saat itu, serta memiliki pasukan yang perkasa dan kekuasaan yang besar,
sebagaimana ucapan Abu Darda’ di atas? Bukankah jumlah pasukan muslimin dalam
perang Hunain sangat banyak akan tetapi tidak bermanfaat karena sebagian mereka
lalai dari bersandar kepada Allah Ta’ala?
Dalam sebuah hadits shahih dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak lama lagi umat-umat lain akan
saling menyeru untuk mengeroyok kalian seperti orang-orang yang makan
mengerumuni nampan (berisi hidangan makanan)“. Salah seorang
sahabat bertanya: “Apakah
dikarenakan jumlah kita sedikit kala itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Bahkan kalian saat itu
berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih (tidak memiliki iman yang kokoh)
seperti buih air bah, sungguh (pada saat itu) Allah akan menghilangkan rasa
takut/gentar terhadap kalian dari jiwa musuh-musuh kalian dan Dia akan
menimpakan (penyakit) al wahnu
ke dalam hati kalian.” Maka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (penyakit) al wahnu itu? Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Cinta (kepada perhiasan) dunia dan benci
(terhadap) kematian“.
Perhatikanlah
dengan seksama hadits yang agung ini! Bagaimana besarnya jumlah kaum muslimin
secara kuantitas tidak bermanfaat sedikitpun dalam menghadapi musuh-musuh
mereka, bahkan sekedar membuat takut musuh-musuh mereka juga tidak bisa. Hal
ini disebabkan kualitas keimanan mereka sangat lemah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyerupakan mereka dengan buih yang mudah terbawa aliran air, karena tidak
mempunyai pijakan yang kuat di atas tanah. Seandainya kaum muslimin benar-benar
beriman dan mentauhidkan Allah Ta’ala,
maka mestinya mereka tidak akan seperti buih, karena iman dan tauhid akan
menjadikan pemiliknya kokoh dan kuat dalam hidupnya, disebabkan dia selalu
bersandar kepada Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala
menyerupakan kalimat tauhid (laa
ilaaha illallah) dengan pohon indah yang akarnya menancap kokoh ke dalam
tanah, dalam firman-Nya,
{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ}
“Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya (menancap) kokoh (ke dalam tanah) dan cabangnya (menjulang) ke langit”
(QS Ibrahim:24).
Makna “kalimat yang baik” di sini adalah kalimat tauhid laa ilaaha illallah (tidak ada
sembahan yang benar kecuali Allah).
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata ketika menafsirkan ayat di atas,”Demikianlah
(keadaan) pohon iman (tauhid), akarnya (menancap) kokoh di dalam hati seorang
mu’min dalam ilmu dan keyakinannya, sedangkan cabangnya yang berupa ucapan yang
baik, amal shaleh, akhlak dan tingkah laku yang terpuji selalu (menjulang) ke langit…”.
Maka
dengan ini, jelaslah bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan kejayaan dan
kemuliaan umat Islam adalah dengan mengajak mereka kembali kepada agama mereka,
dengan mengoreksi kembali pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua kalimat
syahadat (Laa ilaaha illallah)
dan (Muhammadur Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Adapun cara-cara lain yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin,
maka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun, bahkan justru semakin
memperparah dan merusak kondisi umat Islam. Karena cara-cara itu adalah
menyimpang dari petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan merupakan perbuatan bid’ah dalam agama, yang berarti itu adalah perbuatan maksiat
kepada Allah Ta’ala, dan
maksiat merupakan sebab terjadinya kerusakan dan bencana di muka bumi ini.
Allah Ta’ala berfirman:
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“Telah nampak kerusakan
di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Inilah yang dipahami oleh para ulama salaf, sehingga Imam Abu
Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi ketika ditanya tentang makna firman Allah Ta’ala,
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
“Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…“. Beliau
berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu)
mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan
(petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada
selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang
membuat kerusakan di muka bumi”.
Kesimpulannya, inilah satu-satunya cara untuk mengembalikan
kejayaan dan kemuliaan umat Islam, yang telah dinyatakan langsung oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabda beliau, “Jika kalian telah melakukan jual beli dengan
cara ‘iinah (salah satu bentuk
jual-beli riba), membuntuti ekor-ekor sapi (disibukkan dengan peternakan) dan
merasa puas dengan (hasil) pertanian (sehingga lalai dari agama), serta
meninggalkan jihad di jalan Allah Ta’ala,
maka niscaya sungguh Allah Ta’ala
akan menimpakan kehinaan dan kerendahan kepada kalian, dan Dia tidak akan
menghilangkan kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian”. Dalam
riwayat Imam Ahmad, “…sampai kalian bertobat kepada Allah…”.
Oleh karena itu, senada dengan hadits di atas, sahabat yang mulia
Umar bin Khattab berkata dalam ucapannya yang terkenal, “Dulunya kita adalah
kaum yang paling hina, kemudian Allah Ta’ala
memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan
selain agama Islam ini, pasti Allah Ta’ala
akan menjadikan kita hina dan rendah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar